Rabu, 25 November 2009

Mencari Pahlawan Indonesia

Mungkin kita semua sudah tahu apa itu pahlawan, tanpa pahlawan mungkin Indonesia belum merdeka seperti sekarang ini. Melalui perjuangan merekalah, Tuhan membebaskan kita dari belenggu penjajah hingga menjadi negara yang merdeka, seperti yang sekarang kita rasakan ini. Tetapi, apakah kita membutuhkan pahlawan hanya pada saat negara kita terjajah. Tidak saat ini pun kita sangat membutuhkan mereka. Karena kita semua tahu bangsa kita saat ini sedang dilanda berbagai macam krisis. Dari krisis kesejahteraan, dimana ketimpangan antara si kaya dan si miskin terlihat jelas, lalu krisis moral, banyak sekali masyarakat yang telah kehilangan moralnya, juga krisis kepercayaan, kita menjadi sulit mempercayai orang lain dan yang terparah dari hilangnya krisis kepecayaan ialah hilangnya rasa kepercayaan rakyat terhadap pemimpin/pemerintah. Dan masih banyak lagi krisis-krisis lain yang melanda negeri ini.

Krisis adalah takdir semua bangsa. Ia tidak perlu disesali. Apalagi dikutuk. Kita hanya perlu meyakini sebuah kaidah, bahwa masalah kita bukan pada krisis itu. Tapi pada kelangkaan pahlawan saat krisis itu terjadi. Fakta itu jauh lebih berbahaya, sebab disini tersimpan isyarat kematian sebuah bangsa.

Pahlawan bukanlah orang suci dari langit yang diturunkan ke bumi untuk menyelesaikan persoalan manusia dengan mukjizat, secepat kilat untuk kemudian kembali ke langit. Pahlawan adalah orang biasa yang melakukan pekerjaan-pekerjaan besar, dalam sunyi yang panjang, sampai waktu mereka habis.

Mereka tidak harus dicatat dalam buku sejarah. Atau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Mereka juga melakukan dosa. Mereka bukan malaikat. Mereka hanya manusia biasa yang berusaha memaksimalkan seluruh kemampuannya untuk memberikan yang terbaik bagi orang-orang di sekelilingnya. Mereka merakit kerja-kerja kecil jadi sebuah gunung: karya kepahlawanan adalah tabungan jiwa dalam masa yang lama. Orang-orang biasa yang melakukan kerja-kerja besar itulah yang kita butuhkan di saat krisis. Bukan orang-orang yang tampak besar tapi hanya melakukan kerja-kerja kecil lalu menulisnya dalam autobiografinya.

Bangsa Amerika pernah mengalami depresi ekonomi terbesar dalam sejarah dari tahun 1929 hingga 1937. selang lima tahun setelah itu, tepatnya tahun 1942, mereka memasuki Perang Dunia Kedua, dan mereka menang. Selama masa itu, mereka dipimpin oleh seorang pemimpin yang lumpuh, dan satu-satunya presiden yang pernah terpilih sebanyak empat kali, FD. Rosevelt. Tapi krisis itu telah membesarkan bangsa Amerika; selama masa depresi mereka menemukan teori-teori makroekonomi yang sekarang kita pelajari di bangku kuliah dan menjadi pegangan perekonomian dunia. Mereka juga memenangkan PD II dan berkuasa penuh dimuka bumi hingga saat ini.

Itulah yang terjadi ketika krisis dikelola oleh tangan-tangan dingin para pahlawan; mereka mengubah tantangan menjadi peluang, kelemahan menjadi kekuatan, kecemasan menjadi harapan, ketakutan menjadi keberanian, dan krisis menjadi berkah.
Lorong kecil yang menyalurkan udara pada ruang kehidupan sebuah bangsa yang tertutup oleh krisis adalah harapan. Inilah inti kehidupan ketika tidak ada lagi kehidupan. Inilah benteng pertahanan terakhir bangsa itu. Tapi benteng itu dibangun dan diciptakan oleh para pahlawan. Mungkin mereka tidak membawa janji pasti tentang jalan keluar yang instan dan menyelesaikan masalah. Tapi mereka membangun inti kehidupan; mereka membangun dara hidup dan kekuatan yang tertidur disana, di atas alas ketakutan dan ketidakberdayaan. Itulah yang dilakukan Rosevelt. Bangsa yang sedang mengalami krisis, kata Rosevelt, hanya membutuhkan satu hal; motivasi. Sebab bangsa itu sendiri, pada dasarnya, mengetahui jalan keluar yang mereka cari.
Sebuah kehidupan yang terhormat dan berwibawa yang dilandasi keadilan dan dipenuhi kemakmuran masih mungkin dibangun di negeri ini. Untaian Zamrud Khatulistiwa ini masih mungkit dirajut menjadi kalung sejarah yang indah. Tidak peduli seberapa berat krisis yang melanda kita saat ini. Tidak peduli seberapa banyak kekuatan asing yang menginginkan kehancuran bangsa ini.

Masih mungkin. Dengan satu kata: para pahlawan. Tapi jangan menanti kedatangannya atau menggodanya untuk hadir ke sini. Sekali lagi, jangan pernah menunggu kedatangannya, seperti orang-orang lugu yang tertindas itu; mereka menunggu datangnya Ratu Adil yang tidak pernah datang.

Mereka tidak akan pernah datang. Mereka bahkan sudah ada disini. Mereka lahir dan besar di negeri ini. Mereka adalah aku, kau dan kita semua. Mereka bukan orang lain.
Mereka hanya belum memulai. Mereka hanya perlu berjanji untuk merebut takdir kepahlawanan mereka; dan dunia akan menyaksikan gugusan pulau-pulau ini menjelma menjadi untaian kalung zamrud kembali yang menghiasi leher sejarah.

Selasa, 10 November 2009

Etika Menulis di Internet

Belakangan ini banyak masyarakat yang menjadikan media internet untuk menyalurkan aspirasi, kritik, serta yang belakangan ini marak dukungan terhadap pihak tertentu yang dinilai terzhalimi oleh pihak lain. Tetapi walaupun sebagai media yang bebas, tetap saja ada batasan-batasan untuk kita menulis pada media internet. Batasan-batasan itu pun diatur dalam Undang-undang. Selain itu juga terdapat etika yang mengharuskan kita menjaga tulisan kita agar tidak melanggar batasan-batasan yang dilarang.

Dalam artikel ini penulis mencoba mengutip beberapa etika dari beberapa blog yang penulis baca, yaitu sebagai berikut:
  1. Tidak mengandung SARA dan hal-hal pornografi.
  2. Tidak merugikan pihak lain.
  3. Sopan dalam penulisan.
  4. Tidak membajak karya orang lain.
  5. Tata bahasa harus benar.
Lima hal diatas menjadi poin krusial dalam menulis dalam internet. Karena jika salah satu dari lima hal tersebut dilanggar, kemungkinan akan ada pihak-pihak tertentu yang akan merasa dirugikan, atau bahkan dampak terburuk bisa menimbulkan konflik antar suku atau umat beragama. Karena itu sebelum kita menulis di dunia maya hendaknya kita meningkatkan kehati-hatian. Pikirkan tujuan yang hendak dicapai dari tulisan tersebut dan siap menanggung resiko dari apa yang ditulis.

Kita memang mempunyai kebebasan dalam mengemukakan pendapat, tetapi kebebasan berpendapat itu juga ada batasannya yaitu hak orang lain. Selama pendapat yang ditulis dan dipublikasikan pada dunia maya tersebut tidak merugikan orang lain dan bermanfaat, kita tidak perlu takut untuk menulis. Untuk itu sebelum menulis hendak mengerti tentang etika menulis, seperti menggunakan inisial untuk menunjuk ke seseorang jika bermaksud mengambil pengalaman tentang suatu kasus. Intinya yang harus dikritik di media adalah tindakan yang salah dan bagaimana solusinya supaya hal itu tidak terjadi lagi.

Ditulis oleh:
Bayu Bimantoro