VALENTINE, BUDAYA YANG KEBABLASAN?
Bayu Bimantoro 17108333
4KA20
Jurusan Sistem Informasi
Fakultas Ilmu Komputer
1. Pendahuluan
Pengaruh globalisasi memiliki dampak besar bagi masyarakat, kebudayaan, dan nilai-nilai moral kita. Secara perlahan dan lambat-laut aktivitas-aktivitas sosial yang dulunya dianggap tidak bernilai sekarang telah diterima sebagai sebuah norma - sebuah bagian dan paket dari era modernisasi ini.
Hari Santa Valentine merupakan salah satu contohnya, yang belakangan ini telah booming mendadak dalam masyarakat kita dan sekarang diperingati dengan nuansa “keagamaan” baik generasi muda maupun yang tua. Media memiliki peranan besar dalam mempopulerkan perayaan ini dan dilain pihak telah melahirkan sebuah bisnis empuk untuk menjual pernak-pernik Valentine seperti bunga, coklat, hadiah dan lain-lain. Masyarakat kita terlihat mengikut begitu saja dan menerima kebudayaan global yang pada kenyataannya merongrong akar agama, keyakinan, dan nilai-nilai moral kita.
Kebanyakan orang tidak ambil pusing dan tidak merasa ragu dalam merayakan perayaan ini karena disebut sebagai hari “kasih sayang”. Kelihatannya ada pola pikir umum bahwa walaupun ini merupakan perayaan Kristiani, tidak ada salahnya merayakannya, karena tujuan kita bukan untuk mengikuti Kristiani, tetapi hanya untuk menebarkan cinta dan menunjukkan perasaan kita kepada orang yang kita cintai. Pola pikir seperti ini sebetulnya tidak memperhatikan kata “
Jadi mari kita mengnalisis perayaan ini, memahami asal-usul perkembangannya dan pengaruhnya terhadap masyarakat kita serta bagaimana kita menyikapi hari ini sebagai masyarakat
2. Sejarah Valentine
Sejarah kristiani menyebutkan banyak asal-usul berbeda untuk hari Valentine ini, yang dikaitkan dengan santa-santa (saint) berbeda berdasarkan nama Valentine. Jadi asal-usul Kristiani dari hari ini juga dilingkupi oleh misteri. Perayaan ini bukan benar-benar merupakan perayaan Kristiani, karena dari sejarah diketahui bahwa pada kebudayaan paganisme (penyembahan batu dan berhala) Romawi dan Yunani, bulan Februari selalu dianggap sebagai bulan percintaan, bulan kesuburan dan bulan keturunan, dan sejarah membuktikan bahwa hari St. Valentine bersumber dari dua perayaan Romawi yanng paling cabul dan melibatkan kegilaan seksual yakni Lupercalia dan Perayaan Juno Februata, yang keduanya dirayakan pada tanggal 15 Februari.
Lupercalia
Festival ini dirayakan pada tanggal 15 Februari yang diadakan dengan tujuan untuk merayakan kesuburan atas nama dewa Romawi Lupercus yang juga disebut Faunus, sebuah perwujudan dari kesuburan, seksualitas, dan nafsu birahi. Dewa ini dilukiskan berkepala dan berbadan manusia tetapi sepotong badannya adalah kambing dan bertanduk.
Upacara dimulai dengan penyembelihan seekor kambing dan seekor anjing. Para pemuda dilumuri dengan darah hewan ini. Mereka dipakaikan kulit kambing (untuk meniru Lupercus) dan potongan-potongan kecil kulit kambling yang dopotong memanjang, yang disebut sebagai Februa. Mereka kemudian berlari keliling sambil menyerang wanita yang datang ke dekat mereka dengan Februa ini. Ini dianggap menganugerahi kesuburan bagi wanita tersebut.
Perayaan Juno Februata
Perayaan dewi Juno Februata dirayakan setelah upacara Lupercalia. Juno Februa adalah dewi cinta, pernikahan, dan wanita Romawi. Untuk perayaan ini, para wanita menuliskan nama mereka di kertas dan para lelaki akan menarik salah satu dari kertas terseut. Wanita yang namanya tertulis di kertas yang ditarik akan menjadi pasangannya untuk pesta seks pada hari itu.
Kristianisasi Lupercalia dan Juno Februata
Kristianitas sangat dipengaruhi oleh filosopi paganisme Romawi selama pemerintahan Kaisar Romawi
Pada tahun 494 S.M, Paus Gelasius I memutuskan untuk menekan perayaan paganisme. Dia menggantikan Lupercalia dengan Perayaan Purification of Virgin Mary, yang dirayakan sampai sekarang pada tanggal 15 Februari oleh Gereja-Gereja Katolik Ritus Timur.
Juga dikatakan bahwa dia menggantikan Perayaan Juno Februata dengan Hari St. Valentine dan memindahkan hari perayaannya ke tanggal 14 Februari. Perayaan ini tidak lagi melibatkan undian nama seperti sebelumnya tetapi digantikan dengan nama santa Kristian, dimana para pemuda harus mengikuti hari tersebut. Berbagai cerita dan legenda pun muncul, yang dikaitkan dengan banyak orang berdasarkan nama Valentine, untuk memberikan kredibilitas bagi Hari Santa Valentine. Munculnya tokoh-tokoh yang tidak jelas dalam legenda-legenda tersebut labih jauh membuktikan bahwa ini semata-mata merupakan upaya untuk menutupi perayaan paganisme dengan label Kristianitas karena kebudayaan tersebut tidak bisa dihilangkan dari masyarakatnya.
Simbol-Simbol Paganisme
Santa Valentine atau bukan, yang jelas perayaan ini telah kembali ke akar asal-usulnya. Cupid (simbol kasih sayang dalam bentuk seorang bocah telanjang dengan sayap dan busur serta panah), sebuah simbol kasih sayang yang umum digunakan, pada dasarnya merupakan dewa cinta erotik Romawi yang masih muda, yang berasal dari bahasa Latin Cupere - berarti hasrat.
Dewa-dewa dan dewi-dewi Romawi sebetulnya berasal dari Filosofi Yunani dan bandingan Cupid pada masyarakat Yunani adalah Eros - dewa cinta, seks, dan birahi yang utama.
3. Dampak Negatif Valentine
Berikut dampak negatif valentine yang dirangkum dari beberapa artikel:
Masyarakat
Di antara dampak yang sangat terasa dari mulai lunturnya nilai-nilai sosial yang menjadi dasar masyarakat kita saat ini adalah sikap apatis dan individualistis yang mulai menjangkiti jiwa-jiwa masyarakat
Tidak hanya itu, kini media massa juga sangat berpengaruh dalam pola perilaku masyarakat. Media menanamkan budaya baru, yang membuat luntur pola kehidupan yang telah ada. Budaya-budaya yang masuk tanpa ada filter di depan, membuat semua terkafer dalam perilaku masyarakat. Sehingga ia telah membuat pergeseran-pergeseran dalam memaknai sesuatu. Termasuk makna Valentine’s Day yang identik dengan kasih sayang.
Hura-hura dan pesta pora kini tampaknya telah menjadi bagian gaya hidup kaum muda di negeri ini. Tengok saja apa yang dilakukan kaum muda kalau memiliki hajatan. Mulai dari ulang tahun, kelulusan, pernikahan, hingga perayaan hari-hari spesial seperti Valentine’s Day. Menggelar pesta pora dengan acara yang tidak sesuai dengan norma ketimuran, itulah yang sekarang sering kita temui. Norma ketimuran yang menjunjung tinggi norma susila dan norma sosial terdegradasi oleh budaya asing yang masuk tanpa filter. Budaya asing kini menjadi ancaman serius terhadap nilai-nilai luhur yang telah ditanamkan nenek moyang sejak dulu.
Kesalahpahaman sebagian masyarakat kita adalah membayangkan perayaan Valentine identik dengan pesta mabuk-mabukan dan seks bebas. Padahal secara umum tidak demikian faktanya. Kebanyakan remaja Indonesia merayakan Valentine dengan tukar kado, makan coklat, beri bunga, makan malam. Dan tidak hanya antar pasangan kekasih saja, sebagian orang mengungkapkan hari kasih sayang ini kepada orang tua, anak, saudara, sahabat, handai taulan, dll.
4. Kesimpulan
Dari rangkuman artikel dampak negatif dari perayaan valentine dapat kita ketahui bahwah masih banyaknya masyarakat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar